Tingkat Kejeraan Tikus Hama terhadap Rodentisida


Pertanian merupakan sektor komoditas utama di Indonesia. Negara yang terdiri dari kepulauan dengan lahan yang luas adalah faktor yang mendukung Indonesia untuk menjadi negara yang berbasis pertanian. Pertanian secara sempit terdiri atas pertanian pada subsektor tanamanan pangan dan hortikultura serta perkebunan.

Pertanian pangan dan hortikultura adalah pertanian yang menghasilkan kebutuhan pokok makanan untuk manusia. Sedangkan pertanian perkebunan menghasilkan tanaman tahunan yang dapat menambah devisa negara serta untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Pada semua subsektor pertanian tersebut banyak kendala yang dihadapi seperti keadaan cuaca atau iklim yang tidak menentu, ketersediaan air, dan yang paling mengganggu adalah Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Organisme pengganggu tanaman ini dapat menimbulkan kerugian secara ekonomis terhadap petani maupun masyarakat.
Tikus merupakan salah satu satwa liar yang menjadi hama penting bagi kehidupan manusia baik dalam bidang pertanian, perkebunan, maupun permukiman.

Tikus sawah merupakan salah satu hama utama padi yang dapat menimbulkan kerusakan di seluruh bagian tanaman padi pada berbagai stadia pertumbuhan. Tikus pohon biasanya hidup di perkebunan, pekarangan, dan persawahan sedangkan tikus rumah biasanya hidup di permukiman manusia, rumah, dan gudang. Pada saat ini tikus pohon dan tikus rumah dapat menyebabkan kerusakan di permukaan maupun di areal perkebunan. Hal ini disebabkan banyaknya areal perkebunan yang tidak jauh dari tempat permukiman manusia dan tidak tersedianya pakan yang cukup untuk tikus disalah satu habitat tersebut.

Tikus pohon dan tikus rumah dapat menyebabkan kerusakan pada bahan pangan yang disimpan di rumah seperti jagung, gandum, gabah, dan beras. Selain itu tikus pohon dan tikus rumah juga dapat menyebabkan kerusakan pada bahan bangunan karena sifat mengeratnya, kemampuannya menurunkan produksi pertanian dan menyebarkan penyakit pada manusia. Berdasarkan hal tersebut tikus sering dipandang oleh manusia sebagai hewan yang memiliki efek negatif dalam ekosistem (Dickman 1988).

Pengendalian tikus dapat dikelompokkan ke dalam beberapa metode pengendalian antara lain: pengendalian secara kultur teknis, fisik mekanis, biologi, dan kimia. Pengendalian secara fisik mekanis bertujuan untuk mengubah faktor lingkungan fisik menjadi di atas atau di bawah toleransi tikus secara langsung dengan menggunakan tangan atau dengan bantuan alat. Pengendalian kimiawi dapat dilakukan dengan menggunakan racun, baik yang bersifat akut maupun kronis (Priyambodo 2003).

Rodentisida sintetik yang diberikan pada tikus menunjukkan daya bunuh yang efektif serta memberikan hasil kematian tikus yang nyata meskipun penggunaan rodentisida sintetik tidak ramah terhadap lingkungan.Alternatif dari rodentisida sintesis adalah rodentisida nabati yang termasuk pestisida organik atau pestisida nabati, yaitu merupakan bahan aktif tunggal atau majemuk yang berasal dari tumbuhan yang biasa digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu tanaman.

Sifat tikus yang mudah curiga terhadap setiap benda yang ditemuinya, termasuk pakannya, disebut dengan neo-phobia. Adapun sifat tikus yang enggan memakan umpan beracun yang diberikan karena tidak melalui umpan pendahuluan disebut dengan jera umpan (bait-shyness) atau jera racun (poison shyness) (Priyambodo 2003).

Panca indera tikus sangat tajam, namun matanya rabun, untuk sifat “Jera Umpan dan Jera Racun” terhadap beberapa jenis rodentisida jenis akut dan kronis serta “Neophobia” atau mudah curiga untuk beberapa jenis umpan dan perangkap. “Neophobia” adalah menghindari benda yang tidak dikenali, termasuk bau, rasa, suara, dan makanan asing yang ada disekitarnya. Sifat neophobia berbeda antara setiap spesies tikus, variasi dari respon tikus berbeda dan mempunyai rangsangan yang unik.

Kegagalan pada aplikasi rodentisida di lapang, yang mana tidak sesuai pada resistensi fisiologi, tetapi resistensi perilaku (neophobia) dan kondisi keengganan terhadap rodentisida. Perlilaku bseperti itu dapat membantu tikus untuk menghindari mengkonsumsi dosis yang mematikan dari rodentisida (Priyambodo 2002).

Sampai saat ini semakin banyak pengendalian secara kimia dengan menggunakan rodentisida sintetik yang tidak sesuai aturan pakai, menyebabkan tikus tersebut lebih jera umpan (bait-shyness) dan jera racun (poison shyness), karena sifat tikus yang mudah curiga. Dengan demikian perlu dilakukan penelitian tentang tingkat kejeraan umpan (beras dan gabah) dan kejeraaan racun dari tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon terhadap beberapa rodentisida sintetis dan rodentisida nabati serta mencari faktor penyebab dari tingkat kejeraan umpan dan racun tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menghitung tingkat kejeraan tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon terhadap rodentisida (akut, kronis, dan nabati) yang sering diaplikasikan di lapangan dan permukiman, dan terhadap umpan dasar (gabah dan beras), serta mengetahui faktor yang menyebabkan tingkat kejeraan tersebut. (Minkhaya Silviana Putri)
ReadmoreTingkat Kejeraan Tikus Hama terhadap Rodentisida
Yuk Sebarkan Artikel ini ke:

Tinjauan Pustaka Tanaman Sagu

Tanaman Sagu


Sagu (Metroxylon sp) merupakan salah satu jenis tanam pangan non biji yang telah cukup banyak dikenal oleh penduduk Indonesia terutama di kawasan yang memiliki sedikit sawah. Beberapa daerah di Maluku telah mengkonsumsi sagu sebagai makanan pokok.

Sagu yang merupakan tanaman penghasil karbohidrat yang potensial di Indonesia dapat digunakan untuk penganekaragaman pangan sesuai dengan INPRES No. 20 tahun 1979 (Haryanto dan Pangloli dalam Bintoro, 2008). Sagu merupakan sumber karbohidrat penting di Indonesia dan menempati urutan ke-4 setelah ubikayu, jagung dan ubi jalar (Lestari et al., 2009).

Tanaman sagu memiliki kandungan jumlah pati yang cukup banyak. Jika dihitung jumlah pati yang dapat sagu hasilkan, maka akan terlihat perbandingan yang cukup besar antara jumlah pati yang dihasilkan oleh tanaman sagu satu hektar dengan tanaman jagung atau padi satu hektar.

Pati yang terdapat dalam satu batang sagu berkisar 200-400 kg. Beberapa peneliti jepang menemukan pohon sagu yang mengandung pati 800-900 kg/batang sagu. pati sagu mengandung 84.7% karbohidrat yang terdiri atas 73% amilopektin dan 27% amilosa (Wiyono dan Silitonga dalam Bintoro, 2008). Pengolahan sagu hanya menghasilkan pati sekitar 16-18% dari bobot total batang sagu yang termanfaatkan.

Pertumbuhan Tanaman Sagu


Tanaman sagu merupakan tanaman yang berkembangbiak dengan meng-hasilkan anakan. Dalam satu indukan tanaman sagu mampu menghasilkan anakan yang cukup banyak. Pada umur 4-5 tahun, anakan sagu mulai membentuk batang, kemudian pada sekitar batang bagian bawah tumbuh tunas-tunas yang berkembang menjadi anakan (sucker) (Bintoro, 2008). Flach (1983) dalam Bintoro (2008) mengatakan, pada kondisi tanaman yang baik setiap 3-4 tahun dua anakan akan berkembang menjadi pohon.

Seperti tumbuhan pada umumnya, tanaman sagu melewati periode per-tumbuhan vegetatif dan generatif. Periode vegetatif diawali dengan fase pertumbuhan anakan atau semaian, selanjutnya memasuki fase sapihan yaitu telah muncul sistem perakaran pada anakannya.

Fase selanjutnya adalah fase pertumbuhan yang biasa disebut dengan fase tiang yaitu anakan telah tumbuh mandiri dan telah membentuk pelepah daun yang keras. Setelah melewati fase tiang, tanaman sagu mulai membentuk batang, fase tersebut dinamakan fase pohon. Pada fase pohon tanaman sagu telah memiliki tinggi >5 m.

Fase pohon menjadi batas antara periode vegetatif dengan periode generatif. Pada awal periode generatif dimulai dengan fase masak tebang, selanjutnya tanaman sagu akan melalui fase putus duri, yang pada saat tersebut sebagian duri pada pelepah daun telah lenyap. Fase berikutnya adalah fase daun pendek “maputi”.

Pada fase tersebut tanaman sagu sudah siap untuk dipanen batangnya. Beberapa fase berikutnya adalah fase jantung “maputi masa”, sirih buah, dan terakhir fase lewat masak tebang, yang pada saat tersebut tanaman sagu melewati masa pembentukan bunga hingga berbuah dan mati.

Penanaman Sagu


Penanaman sagu dilapangan sebelumnya telah melalui proses persemaian terlebih dahulu. Persemaian dilakukan selama 3 bulan dan dilakukan di kanal dengan menggunakan rakit yang terbuat dari pelepah sagu atu rangka bambu. Sebelum dilakukan persemaian, bibit sagu dipangkas daunnya terlebih dahulu dengan ke-tinggian pangkas 30-50 cm dari banir (bonggol).

Fungsi dari pemangkasan adalah agar evaporasi dapat ditekan dan untuk mempercepat pemunculan calon tunas pertama yang selanjutnya akan menjadi daun. Selain itu bibit perlu dicelupkan kedalam larutan fungisida untuk mencegah timbulnya cendawan selama persemaian.

Setelah 3 bulan dipersemaian bibit diangkut dan dipindahkan ke lapangan tempat dilakukanya penanaman. Pada penanaman dilapangan, terlebih dahulu di-lakukan pengajiran hal ini dimaksud untuk menandai tempat dibuatnya lubang tanam beserta penentuan jarak tanam. Jarak tanam antar ajir 10 m x 10 m bila pada kebun diusahakan sistem tanam monokultur, tetapi bila diusahakan dengan tumpang sari jarak tanam yang digunakan antar ajir 10 m x 15 m (Bintoro, 2008).

Lubang tanam dibuat dengan ukuran 30 cm x 30 cm x 30 cm, tetapi kedalaman lubang tanam yang ideal adalah ketika lubang tanam telah menncapai permukaan air tanah. Dalam maksimum dari lubang tanam yang dibuat ± 60 cm.

Bibit sagu segera ditanam setelah selesai pembuatan lubang, pada bagian rhizome yang dipotong harus ditutup dengan tanah agar tidak terkena serangan hama dan penyakit. Daun yang baru tumbuh juga pucuk daun dipotong agar tidak terjadi kerusakan atau patah. Abut yang telah ditanam diberikan dua potong kayu yang berfungsi sebagai penguat abut agar tidak hanyut bila terjadi penggenangan.

Daun dan Fungsinya


Daun merupakan salah satu organ yang dimiliki tanaman yang bermanfaat untuk melakukan sebagian besar kegiatan pengubahan ikatan-ikatan kimia sehingga dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Daun memiliki stomata dan klorofil yang berfungsi saat daun akan melakukan fotosintesis. K

lorofil atau biasa disebut dengan zat hijau daun, menjadi bagian dari daun yang menyerap radiasi matahari. Agar dapat memanfaatkan radiasi matahari secara efisien, tanaman budidaya harus dapat menyerap sebagian besar radiasi tersebut dengan jaringan fotosintesisnya yang hijau.

Spesies tanaman budidaya yang efisien cenderung menginvestasikan sebagian besar awal pertumbuhan mereka dalam bentuk penambahan luas daun, yang berakibat pemanfaatan radiasi matahari yang efisien.

Perkembangan luas daun pada tanaman budidaya menyebabkan peningkatan penyerapan cahaya oleh daun. Penyerapan radiasi tersebut dipengaruhi oleh indeks luas daun pada tanaman (Leaf Area Index). Indeks luas daun menunjukan rasio permukaan daun terhadap luas tanah yang ditempati oleh tanaman budidaya. Daun menyerap cahaya matahari secara langsung maupun tidak langsung.

Daun-daun sebelah atas menerima radiasi langsung dan radiasi difusi, sedangkan daun-daun yang lebih bawah dalam tajuk menerima sebagian kecil radiasi langsung. Radiasi tidak langsung menjadi lebih nyata disebabkan oleh radiasi yang dipancarkan melalui daun-daun dan direfleksikan dari tanaman serta permukaan tanah.

Daun juga menjadi salah satu pintu keluarnya air dari dalam tanaman, yaitu melalui proses transpirasi. Transpirasi merupakan proses penguapan air yang terjadi pada tumbuhan disiang hari. Transpirasi melalui daun terjadi apabila air berdifusi melalui stomata.

Apabila aliran udara menghembuskan udara lembab di permukaan daun, perbedaan potensial air di dalam dan di luar lubang stomata akan meningkat dan difusi air bersih dari daun juga akan meningkat. Daun menjadi faktor terbesar dari terjadinya transpirasi. Diantaranya beberapa pengaruh daun yang mempengaruhi transpirasi yaitu: penutupan stomata, jumlah dan ukuran stomata, jumlah daun, dan penggulungan atau pelipatan daun.(MUHAMMAD IQBAL NURULHAQ / A24080001)
ReadmoreTinjauan Pustaka Tanaman Sagu
Yuk Sebarkan Artikel ini ke:

Pengaruh Jumlah Daun Bibit Tanaman Sagu (Metroxylon sp) pada Awal Pembibitan

Sagu (Metroxylon spp) merupakan salah satu tanaman pangan yang potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Dahulu sagu menjadi salah satu makanan pokok masyarakat Indonesia timur, yaitu di daerah Maluku dan dataran rendah Papua.

Tanaman sagu memiliki kandungan pati yang sangat tinggi. Tanaman sagu meng-hasilkan pati lebih daripada beras. Satu individu tanaman sagu mampu menghasilkan 200-400 kg pati, bahkan ada yang mencapai 800 kg (Bintoro, 2010). Melihat potensi sagu dengan kandungan pati yang cukup banyak memungkinkan tanaman sagu menjadi salah satu komoditas untuk diversifikasi pangan nasional.

Sejauh ini tanaman sagu telah diolah menjadi beraneka ragam jenis olahan seperti: papeda, empek-empek, cendol, soun, dan bakso. Selain untuk bahan pangan, sagu juga dapat olah menjadi salah satu bahan baku industri. Beberapa hasil olahan pati sagu non pangan diantaranya adalah sebagai bahan baku pembuatan plastik yang dapat terurai (biodegradable), dan juga dapat diolah menjadi bioetanol yang dapat dijadikan bahan baku bahan bakar alternatif.

Selain pati sagu yang dapatdimanfaat-kan, bagian-bagian lain dari tanaman sagu juga dapat dimanfaatkan untuk keperluan manusia, daunnya dapat dijadikan atap rumah tradisional, tulang daunnya dapat dibuat dinding, lidinya dapat dibuat sapu, dan kulit batangnya dapat dijadikan lantai


Sagu dapat tumbuh dengan baik di daerah-daerah rawa yang berair tawar, rawa yang bergambut, sepanjang aliran sungai, sekitar sumber air dan hutan-hutan rawa yang kadar garamnya tidak terlalu tinggi (Haryanto dan Pangloli, 1992). Tanaman sagu merupakan tanaman yang menyukai air, dari daerah penyebarannya tanaman sagu lebih sering ditemukan didaerah dekat sumber air,

Tanaman sagu perlu ditingkatkan produktivitasnya untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Peningkatan produktivitas terjadi jika terdapat peningkatan hasil dibandingkan sebelumnya. Tingginya produktivitas tanaman merupakan hasil dari pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang baik. Pertumbuhan dan per-kembangan tanaman sagu secara umum dipengaruhi oleh nutrisi yang diserapnya. Nutrisi tersebut diperoleh dari hasil proses fotosintesis maupun dari pemupukan


Proses fotosintesis tidaklah lepas dari fungsi utama daun yang memiliki stomata dan klorofil. Luas dari tajuk daun sagu menjadi faktor penting yang mempengaruhi penyerapan CO2 dan cahaya matahari. Secara umum fotosintesis merupakan proses biologis yang mengubah energi matahari menjadi produk biomassa, sehingga jumlah daun menjadi faktor penting yang mempengaruhi per-tumbuhan dari tanaman sagu.
ReadmorePengaruh Jumlah Daun Bibit Tanaman Sagu (Metroxylon sp) pada Awal Pembibitan
Yuk Sebarkan Artikel ini ke: